Minggu, 21 Juni 2015

SUKU KAMORO - PAPUA


SUKU KAMORO – PAPUA

BAB I
PENDAHULUAN

Suku Kamoro merupakan salah satu suku di Kabupaten Mimika Papua atau sekarang dikenal dengan nama Irian Jaya. Suku Kamoro adalah suku yang cukup terkenal, dan memiliki daya tarik akan kebudayaannya yang unik salah satunya dalam seni ukir patung.
Warisan budaya yang telah dilestarikan sejak zaman nenek moyang dari suku Kamoro yang masih terjaga, karena mereka sangat berpegang teguh akan harta yang sarat nilai ini yaitu kebudayaan suku Kamoro.
Di daerahnya suku Kamoro adalah kelompok adat yang mediami sepanjang persisir selatan Papua di kawasan ujung timur Indonesia. Dari segi bahasa, suku Kamoro masih bersaudara dengan suku Asmat. 

Gambar 1.  Seni Ukir Patung suku Kamoro
Kebanyakan dari suku Kamoro  mendiami atau tinggal dirumah kayu non-permanen. Namun saat ini sebagian dari masyarakat suku Kamoro mendiami dirumah permanen, rumah ini adalah pemberian dari perusahaan tambang Internasional (PT Freeport Indonesia) yang beroprasi di Timika. Walaupun terseret dengan arus modernisai, akan tetapi dalam kehidupan suku Kamoro masih menjalankan warisan budaya dan tradisi nenek moyang mereka. Salah satunya adalah seni ukir patung yang member bukti sebagai keunikan akan budaya yang dimiliki oleh suku Kamoro.
Gambar 2. Suku Kamoro dengan Pakaian seperti sekarang
Keragaman dan keunikan yang dimiliki oleh suku Kamoro inilah yang menjadikan tujuan dari pembahasan mengenai suku Kamoro. Hal ini agar menjadikan kita mengetahui keragaman akan budaya yang dimiliki oleh salah satu suku di Indonesia ini.


BAB II
SEJARAH / ASAL USUL
SUKU KAMORO

Asal-usul mengenai suku Kamoro sendiri disetiap wilayah memiliki cerita yang berbeda-beda, tidak ada arti yang jelas mengenai kata Kamoro, namun berdasarkan cerita kata Kamoro berasal dari hewan atau binatang komodo. Menurut masyarakat Kamoro, mereka berasal dari daging hewan yang dibunuh dan dipenggal-penggal oleh nenek moyang mereka dan kemudian daging tersebut berubah wujud menjadi orang Kamoro. Ada versi lain, hukum adat Kamoro mulanya berasal dari Udik Sungai Kamoro, yang kemudian menyebar luas memenuhi sepanjang pantai Barat Daya Irian Jaya, yaitu Potowaiburu hingga ke sungai Otakwa.

Namun ada suatu cerita yang disalin oleh seorang penelti bernama Stefanus Rahangiar, suku Kamoro berasal dari komodo yang terletak di sungai Binar di bagian Timur daerah Mimika. Cerita ini bermula dari, ditemukannya sebutir telur oleh seorang anak kecil di tepi pantai. Kemudian sianak membawa kerumahnya dan dirawatnya. Selang beberapa hari kemudian telur  tersebut menetas. Tetasan tersebut adalah seekor Komodo . Hari kehari, komodo tersebut tumbuh besar dan dewasa. Komodo yang besar tersebut, diluar dugaan memakan seluruh penduduk dikampung tersebut, yang tersisa hanya seorang ibu yang tengah hamil.  

Setelah memakan penduduk, Komodo itu beristirahat di sebuah pulau dengan Sungai Binar. Pada saat itu, Ibu tersebut melahirkan seorang anak laki-laki yang segera tumbuh menjadi seorang pemuda yang dewasa. Di sini anak tersebut mendengar cerita dari Ibunya tentang kejadian yang menimpa keluarganya. Maka timbul niat dari anak ini untuk balas dendam. Ibu itu bernama Mbirokateya sedangkan anaknya bernama Mbirokateyau. Dalam upaya membunuh hewan Komodo, Mbirokateyau mendapat petunjuk dari para leluhurnya lewat mimpi. Mimpi ini mulai dijalankannya dengan mendirikan empat buah rumah berturut-turut, dari arah tepi pantai ke bagian darat. Rumah pertama(Kewa Kame), rumah kedua(Tauri Kame), rumah ketiga(Kaware Kame) dan rumah keempat(Ema Kame). Dalam Rumah sianak sambil memukul  tifa dan bernyanyi seakan-akan sedang berpesta. Hal ini dilakukan untuk memberi perhatian kepada Komodo tersebut, situasi ini mengundang Komodo. disaat hewan itu memporak-porandakan rumah, maka peralatan yang digunakan untuk menghujani tubuh hewanlah yang telah menyelamatkan sianak dari rumah kedua sampai rumah keempat, dan akhirnya Komodo ini mati terimpa alat-alat perang. Kemudian sianak memotong dagingnya menjadi empat bagian dengan ukuran yang sama besar dan melemparkannya ke empat penjuru mata angin. Lemparan pertama kebagian Timur sambil berkata Umuru we yang kemudian dipercaya telah menjadi orang Asmat di Merauke. Lemparan kedua diarahkan kebagian Barat sambil berkata Kamoro we dan akhirnya tercipta manusia suku Kamoro. Lemparan ketiga ke arah Utara yang akhirnya tercipta orang pegunungan dan lemparan keempat diarahkan ke bagian Selatan sambil berkata Semopano we, yang akhirnya menjadi suku Sempan di Timika.

Ada juga cerita lain menurut Bapak Frans Moperteyau yang berasal dari Keakwa yang menyatakan bahwa orang Kamoro mula-mula bertempat tinggal di pulau yang bernama Nawapinaro yang terletak dibagian timur daerah Mimika. Suatu saat dilaksanakan pesta adat Karapao adalah tauri yang merupakan pesta inisiasi bagi anak-anak yang hendak memasuki masa remaja(dewasa). Menurut adat yang mengikuti pesta harus memiliki orang tua dan sanak saudara sebagaimana syarat-syarat pesta adat tersebut. Diantara orang-orang itu, ada 2 orang kakak beradik yaitu Aweyau dan Mimiareyau, yang hidup dalam pemeliharaan wali orang tuanya. Sehingga mereka tidak diperkenankan mengikuti pesta adat tersebut. Hal ini menimbulkan rasa cemburu dan muncul ide untuk membuat keributan pada saat pesta berlangsung. Mereka berdua mengenakan topeng setan untuk menakut-nakuti orang yang sedang berpesta. Peserta pesta adat yang melihat itu, kemudian melarikan diri menuju arah barat dengan menggunakan perahu, kemudian menempati sungai-sungai yang kini merupakan daerah Mimika dari bagian timur hingga ke bagian barat jauh yang sekarang sudah menjadi batas wilayah Kamoro.

Berdasarkan sejarah suku Kamoro tinggal di sepanjang pantai dan dekat dengan sungai, tidak mengenal sistem pertanian sehingga mereka kembali kepada kehidupan mereka sebagai nelayan dan hidup berpindah-pindah dari satu tempat ketempat yang lain (nomaden) . Mereka memiliki semboyan, yaitu 3S (sungai,sampan,sagu). Sungai merupakan salah satu arus utama aktivitas suku Kamoro, sehingga mereka membutuhkan sampan untuk melakukan aktifitas sehari-hari. Rasa sosial kuat yang dimiliki oleh suku ini membuat masyarakat Kamoro selalu berbagi dengan sesamanya. Selain menjadi nelayan suku Kamoro juga suka berburu hewan di hutan.

BAB III
TRADISI SUKU KAMORO

Dalam suku Kamoro Perkawinan mempunyai arti yang sangat mendalam, tidak hanya bagi individu yang kawin, tetapi juga lebih dari itu menyangkut harga diri, kehormatan, martabat keluarga atau kerabat. Dalam suku kamoro mempunyai larangan yaitu ada hubungan darah, melangkahi saudara yang lebih tua. Nilai yang terkandung dalam tradisi ini adalah mengenai ikatan persaudaraan antara suku Kamoro harus saling menghormati sesame saudara.

Adapun Upacara Adat yang dilakukan oleh suku Kamoro adalah Upacara Pendewasaan (inisiasi) atau Upacara Karapao, Upacara Penobatan Kepala Suku, Upacara Pembuatan Mbitoro. Suku kamoro mempunyai beberapa bentuk rumah tradisional, yang diberi nama  KAPIRI KAME.  Kapiri adalah alat penutup rumah (atap) yang menjadi rumah tradisional suku kamoro. Kapiri dibuat dari daun pandan hutan yang kuat, lebar dan panjang.

Suku kamoro mempunyai seni ukir yang cukup tinggi nilainya. Motif-motif seni ukir didasarkan pada pengalaman sejarah. Mbitoro merupakan ukir-ukiran khas suku Kamoro yang menjadi dasar dari jenis ukir-ukiran. Ote kapa adalah seni ukir yang berbentuk tongkat dan biasanya di gunakan oleh orang yang sudah lanjut usia. Yamate adalah seni ukir yang dibuat dari beberapa tingkat sesuai dengan tingkat tinggi orang yang memakainya. Biasanya dibuat empat tingkat yang semuanya bermotif bagian- bagian tubuh buaya.

Seni tari dan seni suara oleh suku Kamoro dijadikan sebagai bahan media dalam berbagai pesta untuk segala kepentingan. Orang yang memiliki keahlian menyusun syair dan mendendangkannya disebut “bakipiare”. Bakipiare sangat peka dalam memperoleh ilham dari keadaan alam sekitarnya. Adapun syair biasa diiringi alat-alat musik yang digunakan adalah tifa (eme) dan kaiyaro (alat musik dari bambu). Kaiyaro ini biasa dibunyikan dalam pesta adat karapao.

Gambar 3. Upacara adat Kaiyaro
        Pakaian adat atau tradisional suku kamoro dibuat dari kulit peura (sejenis pohon genemo) yang disebut waura. Waura digunakan untuk laki-laki yang dipakai sebagai cawat disebut tapena. Ada juga yang terbuat dari daun sagu yaitu tauri, mono dan piki. Tauri biasa digunakan oleh ibu-ibu. Mono yaitu daun sagu yang dikupas, ditumbuk, dicuci yang kemudian dipakai. Sedangkan piki biasa digunakan oleh bapak-bapak, ibu-ibu dan anak-anak sebagai kain sarung.
Gambar 4. Pakaian adat suku Kamoro
BAB IV
KESIMPULAN

Beragam budaya dan suku tersebar diberbagai wilayah di Negara kita yang harus kita ketahui dan lestarikan agar tetap terjaga dan lestari, karena budaya adalah harta yang tak ternilai harganya. Dapat kita pelajari banyak sekali pelajaran yang didapatkan dari suku Kamoro, dimana rasa persatuan memang harus kita jaga agar terjalin ikatan yang kuat yaitu ikatan persaudaraan antar sesama, saling bergotong-royong membangun sebuah kehidupan yang damai. Tetap menjaga seni,tradisi, dan budaya nenek moyang dan berpegang teguh kepadanya. Membuat kita dapat memilah sesuatu agar budaya tidak tergerus oleh perkembangan zaman yang semakin pesat. Antara alam dan suku bangsa Kamoro saling timbale balik, dan saling menjaga satu dengan yang lain agar tetap terjaga kelestarian lingkungan dan menimbulkan rasa aman antara keduanya.

DAFTAR PUSTAKA

Rumah Honai (Irian Jaya)


RUMAH HONAI
(IRIAN JAYA)


BAB I
PENDAHULUAN

    Rumah adat Honai, oleh suku Dani dan beberapa suku yang mendiami wilayah pegunungan tengah Papua, rumah Honai sudah dikenal sejak lama di Kabupaten Jayawijaya. Rumah Honai ini memang didesain khusus sebagi rumha yang melindungi dari hawa dingin khususnya di daerah pegunungan papua. Sampai saat ini, honai secara turun-temurun masih dibangun sesuai dengan tradisi dan kondisi setempat. Sebenarnya nama dari honai dibentuk dari dua kata. Pertama yaitu “Hun” yang berarti pria dewasa dan “Ai” yang berarti rumah. Berarti rumah honai mempunyai arti “rumah laki-laki dewasa”. Bukan saja milik laki-laki dewasa, kaum perempuan juga mempunyai honai, hanya saja dalam istilah atau nama yang berbeda. Untuk kaum wanita, honai disebut “Ebeai”. Seperti halnya honai, Ebeai terdiri dari dua kata, yakni “Ebe” atau dalam pengertian kehadiran tubuh dan “Ai” yang berarti rumah.
Rumah adat Honai, rumah tradisional dari Irian jaya atau lebih dikenal dengan Papua. Rumah Honai ini berfungsi sebagai tempat tinggal, tempat menyimpan alat-alat perang atau sebagi tempat symbol tetua atau tokoh-tokoh adat, juga sebagai tempat mendidik anak-anak, tempat bermusyawarah masyarakat pegunungan papua. Pada zaman dahulu rumah honai biasa digunakan untuk mengatur strategi perang. Suku Dani merupakan suku yang biasa menghuni rumah Honai ini. Selain suku Dani ada juga suku Assolokobal yang juga menghuni rumah Honai ini.

BAB II
TOPOLOGI BANGUNAN


Rumah Honai, rumah ini berbentuk kubah atau dome yang dipuncak atasnya mengkerucut, berfungsi melindungi seluruh permukaan dinding agar tidak terkena air hujan. Rumah adat honai mempunyai pintu kecil dan tidak memiliki jendela, diperuntukkan bagi kaum perempuan. Dalam rumah honai ini akan terasa cukup hangat dan gelap karena tidak ada celah bagi cahaya maupun udara luar yang masuk kedalam. Rumah honai memiliki satu pintu pendek, sehingga mengharuskan orang menunduk pada saat memasuki rumah honai, hal ini dimaksudkan sebagai simbol penghormatan bagi rumah atau sopan santun.

Bentuknya yang bulat, berpintu kecil, dan tidak berjendela difungsikan agar mampu mengurangi cuaca sehingga dapat melindungi yaitu dari udara dingin di pegunungan Papua. Rumah honai biasanya mempunyai diameter 5 sampai 7 meter dan tinggi antara 2 sampai 2,5 meter. Pada bagian tengah rumah terdapat tempat untuk api unggun sebagai penghangat di dalam rumah Honai.
Gambar 1. Rumah honai dilihat dari halaman pemukiman warga dari kejauhan
Gambar 2. Rumah honai dilihat dari halaman pemukiman masyarakat suku Dani, terlihat di samping-samping rumah terdapat tanaman sebagai kebun mereka.

Gambar 3. Rumah honai dilihat dekat yaitu bagian pintu depan rumah.
Bangunan rumah adat honai ini biasanya terdiri dari 2 lantai, dimana dibagian bawah dan atas dihubungkan dengan tangga yang terbuat dari kayu. Dibagian lantai bawah dalam rumah, difungsikan sebagai ruang tidur, dan lantai bagian atas difungsikan untuk ruang bersantai dengan keluarga atau aktivitas lainnya.
Rumah honai mempunyai tiga tipe atau jenis, yaitu untuk kaum laki-laki disebut Honai, kaum wanita disebut Ebeai, dan satu lagi adalah kandang babi disebut Wamai. Kemudian, suku di papua ini sangat menghormati Honela. Honela adalah rumah yang sebenarnya. Rumah yang sangat perlu untuk dihormati. Honela sendiri adalah rumah honai yang berukuran lebih besar. Honela sangat perlu dihormati karena menurut kepercayaan suku dirumah inilah semua manusia dilahirkan. Menghormati Honela berarti menghormati ibu dan adat budaya. Honela sendiri adalah sebagaipusat dari pemukiman rumah-rumah honai yaitu berupa dapur.
Rumah honai memiliki filosofi yang dipegang teguh oleh suku Dani, mencerminkan nilai-nilai adat yang diturunkan dari generasi ke generasi berikutnya. Rumah adat honai mempunyai dsain yang sederhana karena agar mempermudah aktifitas suku yang sering berpindah-pindah atau nomaden.
Rumah honai tidak dibangun dengan sembarangan, biasanya faktor alam menjadi pertimbangan penting untuk membangun honai. Aspek keamanan, resiko bencana, dan hal-hal yang akan dihadapi menjadi pertimbangan dalam pembangunan honai. Dalam pembuatan rumah adat perlu adanya tuturan dari pendeta atau tetua adat. Rumah honai posisi pintu sengaja dibuat diposisi arah tebitnya matahari dan terbenamnya matahari.
Rumah adat honai dengan tidak memiliki jendela berpintu kecil juga mempunyai fungsi untuk menghindari dari serangan binatang buas yang berada di area sekitar hutan di pegunungan Irian Jaya. Pada rumah honai meiliki pondasi yang terbuat dari kayu sage yang didirikan dengan ditancapkan kedalam tanah, pondasi ini berfungsi mempertahankan ketahanan struktur rumah dan memiliki fleksibiltas untuk bergerak bersama gempa. Dinding pada rumah honai dibuat menggunakan papan sehingga dapat menerima getaran gempa dengan sangat baik, dan dapat menyerap udara dingin dan panas. Dari tumah honai karena terbuat dari bahan-bahan alam, rumah ini tidak dapat bertahan lama. Namun ketidaktahanlamaan rumah adat honai mencirikan bahwa kehidupan suku dani yang senang berpindah-pindah.

BAB III
KEARIFAN LOKAL DALAM BANGUNAN

Pada bangunan honai yang bentuknya bulat melingkar mempunyai makna dengan kesatuan dan persatuan yang paling tinggi kita mempertahankan budaya yang telah dipertahankan oleh nenek moyang kita dari dulu hingga saat ini, dengan tinggal di dalam satu honai maka kita memiliki satu hati, dan satu tujuan dalam menyelesaikan suatu pekerjaan. Honai merupakan simbol dari kepribadian.
Dalam adat rumah honai dipisahkan antara laki-laki dan perempuan karena dalam adat dan budaya suku di Papua, meski sudah berkeluarga masyarakat suku Dani tidak boleh hidup atau tinggal dalam satu honai. Pemisahan itu berarti, bagaimana masyarakat suku Dani menjaga hubungan antara lelaki dan perempuan. Ada waktu khusus diman seorang laki-laki bisa bertemu dengan seorang perempuan.
Kehidupan masyarakat suku Dani yang bermata pencaharian dengan berkebun dan berternak maka untuk beternak dibangun rumah khusus untuk hewan ternak yang disebut Wamai. Dan disamping Wamai sendiri biasanya di buat sebagai tempat bercocok tanam atau berkebun. Masyarakat suku Dani biasa menanam umbi-umbian.
Didalam rumah honai tak ada satupun barang-barang yang tidak terbuat dari bahan-bahan alam, rumah honai dibuat benar-benar agar menyatu dengan alam, sehingga masyarakat suku penghuni rumah honai dapat hidup selaras dengan alam. 

BAB IV
KESIMPULAN


Dari rumah adat Honai kita dapat mempelajari bahwa Honai mempunyai filosofis yang sangat dalam. Banyak makna dan pelajaran yang terdapat dalam rumah tradisional ini, bukti tradisi yang dibuat oleh orang-orang terdahulu kita sangat bermanfaat bagi generasi penerusnya, dapat dilihat dari filosofi bangunan Rumah honai ini. Pada rumah tradisional inilah tempat generasi awal masyarakat pegunungan tengah papua dilahirkan dan dibesarkan. Honai juga menjadi tempat belajar mengenai arti sebuah kehidupan dan hubungan timbal balik antara manusia dengan alam maupun dengan sang pencipta. Kita sepatutnya sebagai generasi penerus harus menjaga keunikan rumah tradisional yang telah diwariskan secara turun-temurun agar tetap terjaga keunikan dan pelajaran yang kita dapatkan dapat terus mengalir kegenerasi berikutnya.

Daftar Pustaka